Last Moment

^Last Moment^

Kejadian ini terjadi 2 tahun yang lalu. Dina, seorang anak kelas 6 SD, tinggal di sebuah desa kecil bernama Desa Abraka. Tak taulah mengapa diberi mana ‘Abraka’, yang pasti itulah nama desa Dina. Gadis manis pindahan dari Desa Karaka ini memiliki 2 orang adik manis bernama Nova yang duduk di kelas 2 SD dan Naya yang baru berumur 3 tahun saat itu. Dina dan keluarganya mendiami sebuah rumah sederhana bercat biru langit dengan 2 kamar tidur, 2 kamar mandi, sebuah ruang tamu, dan sebuah dapur. Terdapat pula taman kecil di samping rumah Dina dengan bunga-bunga bermekaran melengkapi keindahan rumahnya.

Dina adalah anak yang cantik, rajin, dan selalu juara kelas di sekolahnya. Mungkin adik-adiknya akan mewarisi sifat kakaknya itu.  Tapi, Dina juga tergolong orang yang cuek, gak mau ngalah, dan selalu bikin ribut adiknya, Nova, hingga nangis ketika mereka berada di rumah. Pernah suatu hari Dina dan Nova bertengkar hanya karena berebutan kamar mandi. Konyol gak sih??
“Kak Dina dulu mandinya!” teriak Dina sambil lari ke kamar mandi.
“Ngga, ade dulu,” sambil menarik-narik baju Dina hingga bajunya longgar.
“Gak! Pokoknya kakak dulu. Kakak kan sebentar mandinya. Ade mah lama mandinya juga,” ujar Dina yang langsung melepaskan tarikan Nova lalu masuk ke kamar mandi dengan riang gembira.
Akhirnya Nova nangis. Huhuhu… Padahal kan kamar mandi di rumah Dina ada 2. Aneh ya! Setelah berebutan kamar mandi, keributan keduanya masih berlanjut ketika sepulang sekolah Dina mendapati kamarnya seperti kapal pecah. Spontan ia panggil Nova dan menyuruhnya membereskan kamarnya. Ketika adiknya tak mau membereskan kamar Dina, Dina akan memaksanya. Tapi mama selalu membela Nova.
“Udah dong Kak, jangan memaksa ade terus. Ade kan masih kecil. Kakak aja yang beresin,” bela mama. Dina kesal hingga wajah Dina mendadak mendung kerung-kerung. Hahaha ..

Setelah sepeda milik Dina diperbaiki, tak jarang Dina dan Nova bersepeda bersama di halaman rumahnya yang cukup luas. Nova dibonceng Dina di atas sepeda kunonya.  Meskipun mereka sering ribut, ternyata mereka bisa akur juga ya.. Hehe..

Suatu pagi di akhir minggu alias weekend, Dina, Nova, dan Naya sempat iseng melakukan pemotretan tersembunyi alias narsis-narsisan bersama di depan kamera HP Nokia jadul milik ayahnya.  Jeprat.. Jepret.. Mereka menunjukan gaya alay mereka sambil nyengir dan berseru “Ciisssss” di depan benda ajaib itu hingga melebihi 10 gaya. Hahaha..

Tiga hari setelah hari narsis itu, Nova jatuh sakit. Dina khawatir juga dengan adiknya itu. Tapi mama menenangkan Dina.
“Nova gak apa-apa kok, cuma sakit panas biasa. Nanti juga kalo udah minum obat pasti sembuh,” ujar mama dengan sabar.
Benarlah apa yang dikatakan mama. Keesokan harinya, Nova sembuh dan bisa beraktivitas lagi. Pada siang harinya, ayah Dina mengajak Dina untuk menghadiri sebuah undangan pernikahan di daerah Cibogo. Dina menyambut ajakan ayahnya itu dengan girang.
“Asikk.. Kakak ikut ya! “ seru Dina.
“Ade juga mau ikut ya, Pa,” sahut Nova yang langsung keluar dari kamar belakang.
“Ade jangan ikut, ade kan baru sembuh. Kalo ikut nanti masuk angin terus sakit lagi. Udah ade disini aja sama mama, ya!” ujar mama.

Tapi Nova memaksa untuk ikut sampai ia nangis. Akhirnya Nova diizinkan ikut ke undangan tersebut. Ketika sampai di tempat pernikahan tersebut, mereka menyalami pengantin dan makan bersama. Saat itu, mereka memanfaatkan keindahan pemandangan di sana dengan berfoto narsis. Setelah dirasa hari semakin siang, mereka pun pulang.

Sepulang dari undangan itu, Nova sakit lagi. Badannya panas. Mama dan Papa khawatir. Akhirnya mama membawa Nova ke Klinik Medika hingga dokter memberinya obat untuk diminum 2 x sehari. Seminggu pun berlalu. Keadaan Nova malah memburuk. Badannya kurus, pipinya bengkak, dan jadi lebih banyak tidur. Sekeluarga khawatir. Akhirnya mama dan ayah Dina membawa Nova ke Puskesmas. Dina pun ikut untuk memastikan keadaan Nova. Ketika di Puskesmas, Nova pun ditangani oleh dokter. Hari semakin sore. Dina tepaksa harus pulang berhubung ia harus sekolah esok. Ia menunggu di rumah sendirian.

Pagi harinya, Dina menerima sebuah pesan singkat dari handphone-nya.
Dina, sekarang mama dan papa lagi di perjalanan ke rumah sakit di kota. Ade sempat kejang tadi subuh, jadi ade harus dibawa ke rumah sakit. Nanti pulang sekolah papa jemput Kak Dina di sekolah buat kesini.” 
Begitulah isi pesan dari mama yang cukup mengejutkan Dina. Kemudian Dina berangkat sekolah bersama kekalutan hatinya. Bel pulang pun berbunyi. Dengan langkah seribu Dina keluar kelas dan menghampiri papanya yang menunggu di depan gerbang sekolahnya.  Mereka pun berangkat ke rumah sakit. Di perjalanan, hujan turun cukup deras. Tapi, hal itu tak menyurutkan perjalanan mereka hingga akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Dina langsung menuju ke ruang IGD tempat Nova ditangani dokter. Dina sedih sekali melihat adiknya yang saat itu mengamuk karena tak mau dipakaikan infus. Ketika adiknya tertidur, Dina sempat menemaninya.  Ketika itu, infusan Nova sempat copot hingga darahnya berceceran ke baju Dina yang masih berseragam. Dina membetulkan lagi infuran itu dengan aliran air mata dari pelupuk matanya. Karena tak tega melihat adiknya itu, Dina dan Naya akhirnya menunggu di luar ruangan sambil memeluk erat Naya. Ketika hari semakin sore, ayah Dina keluar dan berkata,

“Kak Dina, adik sekarang lagi di ruang ICH. Ade lagi ditangani dokter. Kata dokter penyakit ade paru-paru basah. Kakak sama Naya tunggu di luar aja ya. Do’ain Ade biar cepet sembuh. Ayah masuk dulu ya.” Ujar ayah dengan lemas lalu berlalu meninggalkan Dina dan Naya. Dina terus memeluk erat Naya sembari batinnya memanjatkan doa, Ya Allah, sembuhkan adikku. Ku mohon.

Sekitar pukul  5 sore, ayah keluar dari ruang mengerikan itu. Ayah menghampiri mereka berdua lalu merangkul Kak Dina yang sedang merangkul Naya menuju ke ruang tersebut. Sambil berjalan, ayah berkata dengan nada sendu, “Kak, sabar ya. Ade udah gak ada.” Spontan, tangis Dina meledak-ledak dipelukan ayahnya. Ia masuk ke ruang itu dan langsung menghampiri Nova yang tinggal jasadnya itu. Air mata Dina mengalir begitu derasnya. Ia tak menyangka adiknya yang selalu dibuatnya nangis pergi begitu cepat. Perlahan ia membuka kain yang menutupi seluruh tubuh adiknya itu. Dengan terus menangis, ia tatap wajah terakhir adiknya itu dengan teliti inci demi inci tanpa terlewat sedikitpun. Pikirannya terus menerawang ke masa lalu, ketika ia sering membuat Nova nangis, bersikap cuek, dan jarang menunjukan rasa sayangnya pada Nova. Ia sadar bahwa ia telah menyia-nyiakan adiknya yang manis itu. Ia menyesali semua perbuatannya. Pikirannya kalut seketika. Narsis-narsisan bersama di weekend kemarin dan pergi ke undangan sambil berfoto disana seminggu yang lalu ternyata menjadi kenangan terakhir sebelum Nova pergi meninggalkan dunia ini. Semua kejadian baik maupun buruk mereka selama menjalani hidup, kini hanya akan menjadi kenangan yang tersimpan di memori otak Dina. Dina benar-benar sedih atas kejadian itu.

Nova akhirnya dibawa pulang dengan ambulan bersirine ke rumah. Selama di dalam mobil, Dina, Naya, mama, serta papa Dina hanya bisa menangis dan mencoba pasrah dengan takdir yang sudah ditakdirkan Sang Pencipta kepada mereka. Akhirnya mereka sampai di rumah dengan disambut tangisan-tangisan keluarga Dina yang datang dari jauh beserta warga kampung. Mereka menenangkan Dina dan keluarganya. Nova pun diturunkan dari ambulan dan segera dimandikan, lalu dikafani, hingga kemudian disholatkan. Dina tertidur setelah sebelumnya ia pingsan ketika turun dari ambulan.

Keesokan harinya, Nova pun dimakamkan di pemakaman desanya yang dulu, Desa Karaka. Tangis menyelimuti Dina dan keluarganya. Dina mencoba bersabar dan pasrah. Dina menyaksikan sendiri bagaimana jasad Nova perlahan lenyap ditelan bumi dan terkubur seorang diri. Dina berjanji akan menyayangi Naya sebagaimana ia menyayangi Nova. Ia tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Meskipun kini semua hanya tinggal kenangan dan ukiran nama, tapi Nova akan terus hidup dalam hati Dina selamanya.

^The End^

Amanat:
  • Kita harus bersikap baik terhadap siapapun apalagi anggota keluarga sendiri
  • Jangan pernah menyia-nyiakan orang-orang di sekitar kita, karena kita tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.
  • Kita harus sabar dalam menghadapi setiap cobaan hidup.

Popular posts from this blog

Man Jadda Wa Jada

Mengapa Muslimah Harus Punya CIta-CIta?

Seberapa Penting Merekam Jejak Diri? Simak, Yuk!